Pada Acara ILC-nya Karni Ilyas tadi malam, 3/9, Prof. Romli Atmasasmita kembali angkat bicara. Sama seperti yang lalu-lalu, pendapatnya mengenai kasus suap yang melibatkan sejumlah Politisi PKS berbeda dari kebanyakan. Akibatnya banyak pihak merendahkannya. Namun sebagai Guru Besar Hukum yang ikut menyempurnakan UU RI No. 31/1999 Tentang Tipikor, mau tak mau pendapatnya selalu bernilai lebih. Boleh saja semua orang bertepuk tangan atas kehebatan KPK mengusut kasus suap impor daging sapi, tetapi jika Prof Romli tertunduk dengan kekecewaan, semua dukungan itu menjadi hambar.
Menurut Prof Romli, tidak ada pasal-pasal dalam UU Tipikor yang dapat digunakan untuk menjerat LHI dan Ahmad Fatonah dalam kasus suap kuota impor daging. “UU Tipikor hanya dapat digunakan untuk menjerat penyelenggara negara, menyangkut kerugian negara yang dipercayakan pada jabatannya itu. Ada buktinya, ada tempat kejadiannya!” demikian Prof. Romli.
Bukan berarti Prof Romli menjamin tak ada pelanggaran hukum dalam kasus itu. Menilik fakta-fakta yang terungkap sejauh ini, pelanggaran hukum itu pasti ada, tetapi bukan domain KPK. Melainkan institusi hukum yang lain. Boleh jadi pelanggaran terhadap UU Kepabeanan atau Perdagangan. Sebab tuduhan korupsi atau suap yang kemudian diikuti dengan pasal TPPU menuntut dipenuhinya syarat fundamental, “UU Tipikor itu hanya bisa digunakan untuk menjerat penyelenggara negara yang korupsi pada jabatannya. Ada kejahatan pokoknya, ada buktinya dan tempat kejadiannya. Anggaran apa yang dikorupsi dan berapa besarannya. Jika menyangkut tuduhan suap, harus jelas siapa yang menyuap dan siapa yang disuap, kemudian ditemukan bukti pengaruh suap itu. Nah, dalam kasus yang menghebohkan ini, semuanya serba tidak jelas, bukan?”
Pada kesempatan lain Prof Romli berkata bahwa UU Tipikor itu dirancang sangat keras, karena itu diperlukan kehati-hatian dalam penerapannya, agar terhindar dari penyalahgunaan. Sebagai contoh, kalangan swasta tidak bisa dijerat dengan UU Tipikor kecuali sebagai pelaku ikutan, yaitu terbukti bekerjasama dengan penyelenggara negara melakukan korupsi.
Merujuk keprihatinan Prof Romli, bisa saja LHI maupun Ahmad Fatonah diadili dan dijatuhi sanksi di Pengadilan Tipikor, tetapi bukan berdasarkan UU Tipikor. “KPK ceroboh dalam hal ini. Terlalu terburu-buru. Kalau menggunakan UU Tipikor, saya mau lihat sampai kemana…..”
Pada bagian akhir Prof Romli berpesan bahwa hukum hanya bisa ditegakkan dengan prosedur yang benar. Seseorang dapat dituduh melanggar pasal-pasal pidana jika memang telah ada UU mengenai tindak pidana itu. Lha, bagaimana pula menuduh orang melanggar pasal sekian ayat sekian, jika bukunya saja belum ada…
Akibat pendiriannya yang melawan arus itu, banyak pihak mengabaikannya, termasuk Johan Budi mengatakan, “Itu ‘kan interpretasi Prof Romli sendiri, tak ada kewajiban KPK menuruti itu ….” Namun menilik kapasitas Prof Romli sebagai Tim Perumus UU Tipikor, pengalamannya dan pengakuan dunia terhadapnya sebagai pejuang anti-korupsi, sepatutnya pendapat professor ini diperhatikan.
Wallahu a’lam bissowab….
sumber : http://hukum.kompasiana.com/2013/09/04/prof-romli-atmasasmita-sandungan-berat-buat-kpk-dua-589566.html
Menurut Prof Romli, tidak ada pasal-pasal dalam UU Tipikor yang dapat digunakan untuk menjerat LHI dan Ahmad Fatonah dalam kasus suap kuota impor daging. “UU Tipikor hanya dapat digunakan untuk menjerat penyelenggara negara, menyangkut kerugian negara yang dipercayakan pada jabatannya itu. Ada buktinya, ada tempat kejadiannya!” demikian Prof. Romli.
Bukan berarti Prof Romli menjamin tak ada pelanggaran hukum dalam kasus itu. Menilik fakta-fakta yang terungkap sejauh ini, pelanggaran hukum itu pasti ada, tetapi bukan domain KPK. Melainkan institusi hukum yang lain. Boleh jadi pelanggaran terhadap UU Kepabeanan atau Perdagangan. Sebab tuduhan korupsi atau suap yang kemudian diikuti dengan pasal TPPU menuntut dipenuhinya syarat fundamental, “UU Tipikor itu hanya bisa digunakan untuk menjerat penyelenggara negara yang korupsi pada jabatannya. Ada kejahatan pokoknya, ada buktinya dan tempat kejadiannya. Anggaran apa yang dikorupsi dan berapa besarannya. Jika menyangkut tuduhan suap, harus jelas siapa yang menyuap dan siapa yang disuap, kemudian ditemukan bukti pengaruh suap itu. Nah, dalam kasus yang menghebohkan ini, semuanya serba tidak jelas, bukan?”
Pada kesempatan lain Prof Romli berkata bahwa UU Tipikor itu dirancang sangat keras, karena itu diperlukan kehati-hatian dalam penerapannya, agar terhindar dari penyalahgunaan. Sebagai contoh, kalangan swasta tidak bisa dijerat dengan UU Tipikor kecuali sebagai pelaku ikutan, yaitu terbukti bekerjasama dengan penyelenggara negara melakukan korupsi.
Merujuk keprihatinan Prof Romli, bisa saja LHI maupun Ahmad Fatonah diadili dan dijatuhi sanksi di Pengadilan Tipikor, tetapi bukan berdasarkan UU Tipikor. “KPK ceroboh dalam hal ini. Terlalu terburu-buru. Kalau menggunakan UU Tipikor, saya mau lihat sampai kemana…..”
Pada bagian akhir Prof Romli berpesan bahwa hukum hanya bisa ditegakkan dengan prosedur yang benar. Seseorang dapat dituduh melanggar pasal-pasal pidana jika memang telah ada UU mengenai tindak pidana itu. Lha, bagaimana pula menuduh orang melanggar pasal sekian ayat sekian, jika bukunya saja belum ada…
Akibat pendiriannya yang melawan arus itu, banyak pihak mengabaikannya, termasuk Johan Budi mengatakan, “Itu ‘kan interpretasi Prof Romli sendiri, tak ada kewajiban KPK menuruti itu ….” Namun menilik kapasitas Prof Romli sebagai Tim Perumus UU Tipikor, pengalamannya dan pengakuan dunia terhadapnya sebagai pejuang anti-korupsi, sepatutnya pendapat professor ini diperhatikan.
Wallahu a’lam bissowab….
sumber : http://hukum.kompasiana.com/2013/09/04/prof-romli-atmasasmita-sandungan-berat-buat-kpk-dua-589566.html
Tidak ada komentar: