Pada Rabu, 8 Februari 2012, situs Berita Satu sempat memberitakan Irma Isnafia Arief, peneliti, yang berhasil menemukan bakteri yang berasal dari daging sapi lokal dengan kemampuan untuk mengawetkan olahan daging. Penemuan ini merupakan penemuan pertama di dunia. Hebatnya, si peneliti asli orang Indonesia.
Kompasianers, saya tidak akan membahas mengenai Irma, tetapi ingin mengambil sudut pandang lain tentang kehebatan ilmuwan Indonesia. Irma bukanlah seorang Indonesia yang baru berhasil melakukan temuan menakjubkan di luar negeri. Ada banyak Irma-Irma lain asli Indonesia yang sudah menemukan penemuan yang luar biasa.
Sejak dahulu dan sampai kini perhatian Indonesia terhadap ilmuwan dan peneliti memang minim. Mereka seolah dianak tirikan. Selain gaji kecil, fasilitas penelitian sangat terbatas. Lebih dari itu, para peneliti sangat sulit mendapatkan hak paten atas penemuan mereka. Tak heran, untuk penelitian tesebut, Irma harus menunggu negara lain untuk membantu.
“Ada penerbit di Jerman yang ingin siarkan penemuan saya dengan hanya mengirim laporan penelitian ini kemudian dibayar dengan sistem royalti,” kata Irma menambahkan jika telah diterbitkan dan dikenal masyarakat dunia maka akan menaikkan nama Indonesia sebagaimana saya kutip dari situs Berita Satu (Rabu/08/02/2012). “Kami perkirakan kalau ada dananya kami bisa selesaikan dalam jangka waktu satu tahun dan akan bisa daftar paten,” harap Irma yang menambahkan Universitas Osaka di Jepang telah mengajak kerja sama pelanjutan penelitian tersebut.
Pada 24 Oktober 2011, Kompas pernah menjadikan headline masalah perhatian pemerintah Indonesia pada para peneliti. Dalam dua artikelnya, yakni Ilmuwan Indonesia Diincar dan Negeri Ini Tak Nyaman Lagi bagi Peneliti, Kompas menulis, bahwa sejumlah peneliti lebih suka melancong ke luar negeri untuk melakukan penelitian berdasarkan latar belakang keilmuan mereka.
Bagi mereka, luar negeri merupakan surga bagi peneliti. Apalagi mereka menawarkan gaji yang cukup besar. Malaysia, misalnya. Negara tetangga RI ini menawarkan gaji total (take home pay) 5.000 dollar AS atau sekitar Rp 45 juta per bulan. Bayangkan, nilai tersebut ibarat bumi dengan langit yang diterima peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Wakil Kepala Lembaga LIPI, Endang Sukarna mengatakan, gaji plus tunjangan yang diterima seorang Profesor riset LIPI sekitar Rp 5 juta per bulan (Kompas, 24/10/2011).
Jika Malaysia menawarkan Rp 45 juta per bulan, Amerika Serikat menjanjikan gaji sekitar Rp 90 juta per bulan. Di negeri bunga Sakura Jepang, gaji yang ditawarkan ke peneliti lebih dahsyat lagi, yakni Rp 600 juta per bulan. Itulah kenapa akhirnya Jepang menjadi raksasa ekonomi dunia, yakni dengan ‘memanjakan’ peneliti untuk menemukan penemuan-penemuan baru dalam rangka mencetak produk yang akan menguasai dunia.
Kompasianers, sebetulnya Indonesia bisa jauh lebih maju dari negara tetangga. Bukan omong kosong, ketika negara-negara tetangga masih terlibat konflik, Indonesia sudah menyelengarakan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) pada 1969. Sayangnya, lomba ini sekadar lomba. Tidak ada tindak lanjut setelah LKIR. Selain itu, pemerintah tidak memiliki disain besar untuk menjadikan para peneliti muda sebagai ujung tombak dalam pembangunan perekonomian negara. Tak heran, budget untuk penelitian minim, fasilitas minim, pun gaji peneliti minim. Semua serba minim.
Kini, yang terjadi, para peneliti lebih suka migrasi ke negeri lain. Apakah mereka salah? Jangan melihat dari perspektif nasionalisme. Sebab, mereka tentu punya alasan dan sebagian dari kita tahu dengan jelas alasan para peneliti itu tinggal di luar negeri. Jangan heran, jika ada peneliti Indonesia yang menjadi Profesor di Chiba University Jepang atau Profesor di Cornell University, Amerika Serikat. Tak perlu takjub, ada orang Indonesia asli yang jadi Astronom di Jepang dan Profesor Ilmu Komputer di Universitas Utrecht, Belanda.
“Seharusnya profesi peneliti menjadi salah satu penentu kemajuan suatu bangsa,” ujar Prof Dr. Wahyudin Latunreng, Ketua Dewan Juri LPIR 2011.
Kompasianers, saya tidak akan membahas mengenai Irma, tetapi ingin mengambil sudut pandang lain tentang kehebatan ilmuwan Indonesia. Irma bukanlah seorang Indonesia yang baru berhasil melakukan temuan menakjubkan di luar negeri. Ada banyak Irma-Irma lain asli Indonesia yang sudah menemukan penemuan yang luar biasa.
Sejak dahulu dan sampai kini perhatian Indonesia terhadap ilmuwan dan peneliti memang minim. Mereka seolah dianak tirikan. Selain gaji kecil, fasilitas penelitian sangat terbatas. Lebih dari itu, para peneliti sangat sulit mendapatkan hak paten atas penemuan mereka. Tak heran, untuk penelitian tesebut, Irma harus menunggu negara lain untuk membantu.
“Ada penerbit di Jerman yang ingin siarkan penemuan saya dengan hanya mengirim laporan penelitian ini kemudian dibayar dengan sistem royalti,” kata Irma menambahkan jika telah diterbitkan dan dikenal masyarakat dunia maka akan menaikkan nama Indonesia sebagaimana saya kutip dari situs Berita Satu (Rabu/08/02/2012). “Kami perkirakan kalau ada dananya kami bisa selesaikan dalam jangka waktu satu tahun dan akan bisa daftar paten,” harap Irma yang menambahkan Universitas Osaka di Jepang telah mengajak kerja sama pelanjutan penelitian tersebut.
Pada 24 Oktober 2011, Kompas pernah menjadikan headline masalah perhatian pemerintah Indonesia pada para peneliti. Dalam dua artikelnya, yakni Ilmuwan Indonesia Diincar dan Negeri Ini Tak Nyaman Lagi bagi Peneliti, Kompas menulis, bahwa sejumlah peneliti lebih suka melancong ke luar negeri untuk melakukan penelitian berdasarkan latar belakang keilmuan mereka.
Bagi mereka, luar negeri merupakan surga bagi peneliti. Apalagi mereka menawarkan gaji yang cukup besar. Malaysia, misalnya. Negara tetangga RI ini menawarkan gaji total (take home pay) 5.000 dollar AS atau sekitar Rp 45 juta per bulan. Bayangkan, nilai tersebut ibarat bumi dengan langit yang diterima peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Wakil Kepala Lembaga LIPI, Endang Sukarna mengatakan, gaji plus tunjangan yang diterima seorang Profesor riset LIPI sekitar Rp 5 juta per bulan (Kompas, 24/10/2011).
Jika Malaysia menawarkan Rp 45 juta per bulan, Amerika Serikat menjanjikan gaji sekitar Rp 90 juta per bulan. Di negeri bunga Sakura Jepang, gaji yang ditawarkan ke peneliti lebih dahsyat lagi, yakni Rp 600 juta per bulan. Itulah kenapa akhirnya Jepang menjadi raksasa ekonomi dunia, yakni dengan ‘memanjakan’ peneliti untuk menemukan penemuan-penemuan baru dalam rangka mencetak produk yang akan menguasai dunia.
Kompasianers, sebetulnya Indonesia bisa jauh lebih maju dari negara tetangga. Bukan omong kosong, ketika negara-negara tetangga masih terlibat konflik, Indonesia sudah menyelengarakan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) pada 1969. Sayangnya, lomba ini sekadar lomba. Tidak ada tindak lanjut setelah LKIR. Selain itu, pemerintah tidak memiliki disain besar untuk menjadikan para peneliti muda sebagai ujung tombak dalam pembangunan perekonomian negara. Tak heran, budget untuk penelitian minim, fasilitas minim, pun gaji peneliti minim. Semua serba minim.
Kini, yang terjadi, para peneliti lebih suka migrasi ke negeri lain. Apakah mereka salah? Jangan melihat dari perspektif nasionalisme. Sebab, mereka tentu punya alasan dan sebagian dari kita tahu dengan jelas alasan para peneliti itu tinggal di luar negeri. Jangan heran, jika ada peneliti Indonesia yang menjadi Profesor di Chiba University Jepang atau Profesor di Cornell University, Amerika Serikat. Tak perlu takjub, ada orang Indonesia asli yang jadi Astronom di Jepang dan Profesor Ilmu Komputer di Universitas Utrecht, Belanda.
“Seharusnya profesi peneliti menjadi salah satu penentu kemajuan suatu bangsa,” ujar Prof Dr. Wahyudin Latunreng, Ketua Dewan Juri LPIR 2011.
sumber: www.kompasiana.com
Tidak ada komentar: